Akal Sebagai Wahyu Allah Pada Setiap Manusia - Catatanku
Headlines News :
Home » » Akal Sebagai Wahyu Allah Pada Setiap Manusia

Akal Sebagai Wahyu Allah Pada Setiap Manusia

Written By Harmoko, A.Md on Kamis, 07 Juni 2012 | 07.51

Jika menyimak ayat-ayat Al-Qur’an secara seksama, segera terlihat betapa banyak ayat berbicara tentang pentingnya akal dalam kehidupan manusia. Begitu pentingnya akal sehingga Allah yang Maha Pencipta sangat sering mengingatkan manusia agar menggunakan akal sehatnya, memakai nalar kritisnya dalam mengarungi kehidupan duniawi yang penuh dengan tantangan dan godaan ini.

Dalam bahasa Arab dikenal ungkapan “al-insan hayawan an-nathiq”. Artinya, keunikan manusia sehingga berbeda dengan hewan adalah kemampuannya dalam berpikir. Itu pula lah sebabnya mengapa manusia dinamakan ulul-albab (orang berpikir). Sebab, memang benar hanya manusia satu-satunya makhluk yang mampu berpikir.

Al-Qur`an dengan redaksi yang beragam mengajak manusia berpikir mengenai segala hal, kecuali tentang Zat Allah. Sebab, mencurahkan energi untuk memikirkan-Nya hanya akan berakhir dengan sia-sia. Pengetahuan tentang zat Allah tidak akan dapat dijangkau dengan pikiran manusia. Manusia cukup memikirkan tentang ciptaan Allah di langit, di bumi, dan di dalam diri manusia sendiri (QS. ar-Rum, 10:42; Ali Imran, 190-191; ad-Dukhan, 38-39 dan ar-Rad, 3). Bahkan, orang-orang yang kreatif berpikir mendapat apresiasi yang tinggi dalam Al-Qur`an dan mereka disebut dengan beberapa nama: ulu al-albab (orang berpikir); ulu al-`ilm (orang berilmu); ulu al-absar (orang berpandangan); dan ulu al-nuha (orang bijaksana).

Itu pula sebabnya, mengapa Al-Qur’an dimulai dengan ungkapan kalimat yang memerintahkan manusia membaca. Membaca apa? Tidak lain adalah membaca nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang dan juga membaca alam semesta. Memahami eksistensi Tuhan membawa manusia kepada pengakuan akan eksistensi diri yang sejati yakni sebagai makhluk. Sebagai ciptaan yang kerdil!. Pemahaman terhadap eksistensi diri seharusnya membuat kita menjadi tunduk dan patuh hanya pada Sang Pencipta, mengikis semua sifat ego, tamak dan arogansi yang selama ini mungkin melekat dalam diri kita.

Sebaliknya pembacaan kita terhadap alam semesta membawa kita sadar akan tanggung jawab sebagai manusia yang harus mengelola bumi sehingga menjadi tempat yang penuh damai dan harmoni bagi seluruh makhluk, utamanya sesama manusia.

Selanjutnya, obyek berpikir bukan hanya alam semesta atau ayat-ayat kauniyah, melainkan juga ayat-ayat yang diturunkan dalam bentuk wahyu. Yang pertama adalah ayat-ayat yang terlihat, sementara yang kedua adalah ayat-ayat yang terdengar dan terbaca. Ketika menafsirkan ayat-ayat yang berisi himbauan agar manusia berpikir, Al-Biqa`i menjelaskan makna “laallakum tafakkarun dengan “semoga engkau menjadi orang yang selalu menggunakan pikiranmu, dan orang yang telah menggunakannya berarti ia telah dapat mengambil manfaat dari pemikirannya itu”. (Yusuf Qardhawi, 1998).

Berpikir merupakan kerja akal yang paling menakjubkan. Al-Qur`an menyebut begitu banyak kerja akal, di antaranya untuk mendengarkan dan karenanya mereka yang tidak menggunakan akalnya digolongkan sebagai orang-orang tuli (QS. Yunus, 10:42). Tentu saja yang dimaksudkan mendengar dan tuli di sini bukan dalam arti fisikal, melainkan non-fisikal. Fungsi akal lainnya, untuk merenungkan secara konsepsional, setidaknya merenungkan berbagai kejadian di alam ini. Karena itu, Allah menyebut alam semesta dan seluruh fenomena alam ini sebagai tanda bagi orang-orang yang berakal (QS. al-Ankabut, 29:35 dan al-Rum, 30:24). Akal yang dimaksudkan di sini lebih tertuju pada aktivitas penalaran logis.

Nabi dalam hadisnya menjelaskan bahwa akal melahirkan pertimbangan pengetahuan (hilm), lalu dari sana lahir petunjuk yang benar (rusyd), dan dari petunjuk yang benar itu muncul kehati-hatian (abstention). Demikian selanjutnya dari kehati-hatian itu timbul rasa malu yang kemudian menciptakan ketakutan. Ketakutan melahirkan amal baik dan amal baik menghasilkan rasa benci terhadap kejahatan. Akhirnya dari rasa benci terhadap kejahatan itu memproduksi apa yang disebut dengan kepatuhan pada nasihat yang baik (Sachiko Murata, 1996).

Demi menjelaskan betapa tingginya fungsi akal, Mulla Sadra mensejajarkan fungsi akal manusia dengan Nabi. Sebab, keduanya sama-sama berfungsi memberi penerangan kepada manusia agar terhindar dari kebodohan (QS, al-Maidah, 5:15-16). Dalam salah satu hadis qudsi diterangkan bahwa akal merupakan ciptaan pertama Allah, seperti juga hadis qudsi yang menyebutkan Nur Muhammad sebagai ciptaan pertama-Nya menjelaskan betapa perjalanan manusia mendaki puncak-puncak kesempurnaan bergantung sepenuhnya pada peran akal di dalam jiwa setiap manusia dan peran nabi di alam raya. Tanpa keduanya tidak ada cahaya di bumi dan manusia akan terhempas dalam lipatan gelombang kegelapan yang tidak bertepi (Musa Kazhim, 2001).

Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia memiliki posisi yang sangat spesifik di mata Tuhan. Manusia adalah khalifah (wakil) Tuhan (QS. al-Baqarah, 2:30). Tugas manusia adalah untuk menterjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta. Karena itu, keunikan manusia adalah bahwa ia mewakili Tuhan di atas bumi ini. Suatu posisi yang teramat tinggi yang bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lainnya, termasuk malaikat sekali pun.

Pertanyaannya, mengapa harus manusia? dimana letak keunggulannya? Ali Syariati dalam bukunya Islam dan Manusia, menjelaskan keunggulan manusia terletak pada akal dan pengetahuannya. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarkan padanya tentang nama-nama yang faktanya mengacu pada berbagai fakta ilmiah, dan inilah kemudian yang dianggap sebagai prototype dari ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan kepada para malaikat, kendati mereka diciptakan dari cahaya, unsur yang dinilai lebih mulia daripada tanah, asal kejadian manusia. Dari sini kemudian Ali Syariati menyimpulkan bahwa kemuliaan seorang manusia bukan terletak pada superioritas rasialnya, melainkan pada pengetahuan dan kecerdasannya.

Keunggulan manusia lainnya, menurut Ali Syariati adalah karena ia terpilih menjadi kepercayaannya (QS. al-Ahzab, 72). Allah telah menawarkan amanah kepada makhluk lainnya, kepada langit, gunung, dan bumi, tetapi mereka menolaknya. Hanya manusia yang menyangggupi amanah itu. Amanah ini dapat ditafsirkan sebagai kehendak dan kemampuan untuk memilih. Kehendak dan kemampuan memilih hanya dimiliki oleh manusia, tidak dimiliki oleh makhluk lainnya dan itu menunjukkan betapa manusia memiliki kebebasan penuh bagi dirinya. Kebebasan akhirnya merupakan hak asasi tertinggi manusia.

Kebebasan yang dimiliki manusia bukan tanpa konsekuensi, melainkan membuat manusia menjadi makhluk yang bertanggungjawab. Islam memandang manusia sebagai satu-satunya makhluk yang bertanggungjawab, bukan saja atas nasibnya sendiri, melainkan juga bertanggungjawab untuk membantu menyukseskan tujuan Tuhan di muka bumi (QS, al-Baqarah, 2:14). Dalam rangka mengemban tugas suci itulah manusia diberi kebebasan penuh, termasuk kebebasan berpikir. Akan tetapi, kebebasan manusia itu bukan tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggungjawab.

Kebebasan, termasuk kebebasan berpikir harus diletakkan dalam kerangka tanggungjawab manusia sebagai makhluk di hadapan Tuhan, sang pencipta. Konsep kebebasan manusia yang dilepaskan dari tanggungjawab hanya akan melahirkan dampak negatif bagi kehidupan dan bertentangan secara diametral dengan tujuan kebebasan itu sendiri. Sebab, tanpa adanya suatu tanggungjawab, tindakan manusia hanya akan melahirkan kezaliman, kebobrokan, dan berbagai bentuk kegiatan destruktif lainnya. Dan ini tentu amat berbahaya, khususnya bagi umat manusia itu sendiri.

Kemampuan manusia dalam memberi nama kepada benda-benda sebagai diceritakan dalam Al-Qur`an menunjukkan kemampuan manusia untuk memiliki pengetahuan yang kreatif dan ilmiah mengenai seluruh objek di alam ini, termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan kreatif inilah yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya dan yang membuat manusia menjadi makhluk yang paling sempurna. Menarik dicatat di sini bahwa pengetahuan manusia bukan hanya menjangkau hal-hal yang bersifat fisik, melainkan juga bersifat metafisik. Manusia dapat membuktikan eksistensi Tuhan dan menangkapnya sebagai suatu realitas. Artinya, meskipun Tuhan adalah ghaib, pikiran manusia tetap mampu mengetahui eksistensi-Nya. (Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran, h.1).

Akan tetapi, menurut Rahman, meskipun manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang bersifat metafisik, namun dalam hal-hal yang bersifat keagamaan manusia harus mempunyai niat yang tulus untuk hidup dalam naungan dan bimbingan Allah. Dengan ungkapan lain, meskipun akal manusia benar-benar memiliki kemampuan, sikap mental dan bimbingan agama tetap merupakan faktor yang sangat menentukan untuk mengarahkan manusia kepada kebenaran yang sesungguhnya.

Lebih jauh lagi, Rahman percaya bahwa manusia dengan akalnya dapat sampai pada pengetahuan tentang baik dan buruk secara obyektif. Adanya kebaikan dan keburukan yang bersifat obyektif dan kemampuan manusia untuk mengetahuinya merupakan pandangan yang didukung nalar sehat dan berpijak pada nilai-nilai Al-Qur`an. Karena itu, membenarkan seseorang mengikuti wahyu tanpa menggunakan akalnya justru bertentangan dengan Al-Qur`an yang berulangkali menyeru agar manusia berpikir, memahami, dan merenung. Pengingkaran terhadap adanya kebaikan dan keburukan yang bersipat obyektif jelas-jelas bertentangan dengan prinsip ajaran dan nilai-nilai Al-Qur`an. Sebab, kemampuan manusia untuk mengetahui kebaikan dan keburukan yang obyektif merupakan implikasi yang logis dari seruan Allah dalam Al-Qur`an agar manusia berpikir dan menggunakan akalnya dalam kehidupan ini.

Namun perlu diingat bahwa kemampuan manusia untuk mengetahui kebaikan dan keburukan yang obyektif itu merupakan anugerah Tuhan dalam diri manusia sebagai perwujudan sifat rahman Tuhan. Tuhan telah memberikan manusia kognisi dan kemauan yang diperlukan untuk menciptakan pengetahuan dan menggunakannya dalam rangka menyadari tujuan hidup yang sebenarnya. Selanjutnya, dari pengetahuan yang diperoleh itu manusia dituntut untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan praktis.

Manusia berkewajiban melaksanakan apa yang diketahuinya mengenai kebaikan dan keburukan. Artinya, dengan pengetahuannya itu manusia dituntut untuk mengerjakan kebaikan dan mengeliminasi keburukan. Manusia tidak boleh berhenti pada tingkat mengetahui kebaikan itu saja, tetapi lebih ditekankan untuk mampu melaksanakan kebaikan tersebut.

Dalam konteks ini wahyu menjadi sangat relevan, yaitu untuk memberikan bimbingan kepada manusia agar pengetahuan yang diperolehnya itu tidak mengalami distorsi. Yang lebih penting lagi adalah agar penciptaan manusia tidak menjadi sia-sia. Allah menciptakan manusia untuk suatu tujuan yang sangat mulia, yakni untuk mengabdi kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya (QS. al-Mukmin, 23:115; Shad, 38:27; dan Ali Imran, 3:191). Justru dalam konteks pengabdian inilah, kebebasan manusia memiliki makna yang sangat signifikan. Sebab, seluruh bentuk pengabdian manusia kepada Allah adalah semata-mata untuk kepentingan manusia sendiri, bukan untuk kepentingan Allah. Semua kebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia hasilnya akan dirasakan oleh manusia sendiri.

Dalam bahasa agama ditegaskan semua kebaikan manusia akan diganjar dengan pahala, sebaliknya semua kejahatan yang dilakukannya akan diancam dengan hukuman (QS. al-Baqarah , 2:286; dan al-Nisa, 4:111). Pada akhirnya terpulang kepada manusia, apakah dengan pertimbangan akalnya ia akan memilih menjadi orang baik atau akan mengikuti dorongan nafsunya menjadi orang jahat. Semua keputusan akhir ada di tangan manusia. Tuhan telah begitu rahman dan rahim pada manusia dengan membekali mereka empat alat: panca indera, intuisi, akal, dan hidayah berupa agama. Dalam konteks inilah kita melihat pentingnya kebebasan berpikir manusia. Wallahu a`lam bi as-shawab.

Sumber : http://www.mujahidahmuslimah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=58:akal-sebagai-wahyu-allah-pada-setiap-manusia&catid=34:tafsir-hadist&Itemid=28
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Facebook

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatanku - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger