Alhamdulillah,
puji syukur ke hadirat Allah…negaraku adalah lahan subur, tempat tumbuh
dan pesatnya gerakan dakwah Islam. Gelombang kebaikan itu muncul
membersamai situasi kondusif Indonesia, tempat berkumpulnya Elit
kebenaran dan Elit kebathilan. Saya kemudian berfikir, mungkin ini pula
di antara keberkahan demokrasi yang semua orang rasakan, semua ingin
tampil laksana ingin dikenal walaupun tanpa esensi yang menjadi landasan
paradigma. Saya lihat ini peluang dan sekaligus jembatan dakwah
menjelma dalam bentuk negara.
Dakwah harus mengalami metamorfosa
tanpa harus meninggalkan orisinalitasnya, paradigma ini harus tertancap
di nurani dan tekad setiap Du’at, Da’i harus punya obsesi kekuasaan,
obsesi politik dan obsesi peradaban. Ketiga hal tersebut harus menjelma
dalam suatu bentuk yang dinamakan NEGARA, dakwah seperti ini yang dahulu
kita lihat dari napak tilas aktivitas politik dakwah Rasulullah dan
para sahabat, Rasulullah mengirim surat-suratnya ke Persia, Romawi,
Yaman, dll, serta spirit nabawi yang terlihat ketika Rasulullah dan para
sahabat menggali parit sebagai pertahanan menghadapi musuh dalam perang
Khandaq, Romawi akan ditaklukkan, sebaik-baik panglima dan tentara yang
menaklukkannya. Dan terbukti Impian Nubuwwah itupun diejawantahkan oleh
pemuda yang berumur 17 tahun yang bernama Muhammad Al-Fatih.
Pada
hari ini, adalah Era kemandirian dakwah, (bukan berarti tanpa ada
pertolongan dari Allah), Representasi dari dakwahnya Nabi Sulaiman
‘alaihissalam, Era di mana dakwah menjelma dalam bentuk negara, Sesungguhnya
(surat itu) dari Sulaiman yang isinya “dengan nama Allah yang maha
pengasih lagi maha penyayang. Janganlah engkau berlaku sombong datanglah
kepadaku sebagai orang yang berserah diri. (An-Naml: 30-31), ini
adalah tarbiyah Al Qur’an kepada kita bahwa, dakwah itu harus
berorientasi kekuasaan, karena fungsi esensial negara dalam Islam adalah
sebagai hirosatud din (menjaga Agama) dan siyasatud dunya (mengelola Bumi).
Kita pada hari ini harus merubah atau mentransformasikan mindset kita agar jangan berlama-lama berdakwah, pada fase Nabi Musa ‘alaihissalam dengan Fir’aun, “Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena dia benar-benar telah melampaui batas. Maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”.
(Thaha: 43-44), hal demikian adalah gambaran dakwahnya orang tertindas
karena kezhaliman nyata para penguasa. Kita hari ini bukan dalam kondisi
tertindas, kita adalah orang yang merdeka berpendapat, demokrasi
menjanjikan itu. Maka hal yang paling mungkin kita lakukan adalah
membersamai Era demokrasi ini sebagai langkah awal dakwah menjelma
sebagai sebuah negara.
Maka Negara adalah manifestasi dari doktrin
agama atau ideologi yang berkembang, kita melihat tidak satu pun dari
negara adi daya berideologi sosialis seperti Rusia dan Kapitalis seperti
Amerika melainkan telah terjangkiti kanker yang mematikan dalam tubuh
negara itu, maka tidak ada lagi alternatif yang paling mungkin untuk
menggantikannya yaitu Al-Islam, tinggal bagaimana kita sebagai salah
satu dari sekian batu bata kebangkitan itu untuk melakukan reformasi
paradigma agar dakwah tampil lebih elegan dan diminati oleh semua
golongan yang bukan hanya Muslim akan tetapi orang-orang non Muslin pun
merasakan keberkahan di bawah panji pemerintah Islam.
Suatu hari
kita akan melihat para pemimpin-pemimpin Islam akan menuliskan
surat-surat dakwah kepada seluruh pemimpin Dunia sekalipun kepada negara
adi daya, “dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang,
janganlah berlaku sombong, datanglah kepadaku dalam keadaan berserah
diri (Muslim)”. Wallahu A’lam bish Shawab.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !